Pertambangan

Luapan Air Berwarna Merah Di Dekat Tambang di Kolaka Rusak Lahan Pertanian Dan Perikanan

Kendari, MiningNews – Lumpur merah biasanya terlihat di dekat lokasi penambangan sebagai produk sampingan dari proses Bayer, yaitu reaksi kimia yang digunakan untuk mengekstrak senyawa aluminium dari bijih bauksit. Dalam penambangan nikel, proses yang dikenal sebagai pencucian asam bertekanan tinggi memisahkan nikel dari bijihnya pada suhu tinggi. Limbah dari penambangan nikel mengandung besi teroksidasi, yang menyebabkan limbah tersebut berwarna merah darah.

Sebuah studi yang dilakukan di Filipina dan diterbitkan pada bulan Februari di Journal of Environmental Chemical Engineering menemukan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam penambangan nikel adalah “pendangkalan sungai, sungai dan muara, yang berdampak negatif terhadap komunitas petani dan nelayan yang tinggal dekat dengan wilayah tersebut. lokasi tambang.”

ForSDA, sebuah organisasi masyarakat sipil setempat, mencatat bahwa banjir menggenangi 650 hektar (1.600 hektar) sawah di tiga desa di Kecamatan Pomalaa, Kolaka. Desa Pesouha merupakan desa yang terkena dampak paling parah, dengan luas sekitar 500 hektar (1.240 hektar) lahan yang terendam.

Seorang warga di dekat lokasi salah satu tambang di Pomalaa, Ansal yang bekerja sebagai petani menuturkan, menanami sisa sawah sehari setelah banjir kemudian menggunakan pupuk tambahan pada sisa setengah hektar (1,2 hektar) lahan. Ansal berdoa untuk kemakmuran, dan setelah dua minggu tanaman mulai menghijau.

“Semuanya berwarna merah,” kata Ansal

Pada tahun-tahun sebelumnya, banjir yang sesekali terjadi lebih dapat diatasi, namun hujan lebat kali ini menyebabkan sungai meluap. Luapan yang terjadi kemudian membuat ladang Ansal menjadi lapisan lumpur setinggi lutut, menenggelamkan padi yang baru ditanam di bawah air berwarna tanah liat.

Biasanya petani menunggu sekitar tiga bulan setelah tanam untuk bisa memanen padinya. Namun banjir bandang dapat mengganggu ritme tersebut.

“Kalau ada gangguan seperti ini maka harus menunggu empat bulan sampai bisa dipanen,” kata Ansal.

Kesaksian yang bersifat anekdotal dari para petani padi di sini menunjukkan bahwa sedang terjadi penurunan produktivitas secara drastis. Ansal memperkirakan hasil panennya sendiri telah menurun seiring berjalannya waktu dari 80 karung sekali panen menjadi sekitar 40 karung.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kolaka mencatat produksi beras di seluruh kabupaten tersebut turun dari 61.281 metrik ton pada tahun 2021, menjadi 55.953 metrik ton pada tahun 2022.

Bagi komunitas petani yang tinggal berdampingan dengan industri pertambangan nikel yang baru berkembang di Indonesia, pengalaman di Pomalaa mungkin memberikan gambaran sekilas tentang masa depan yang penuh tantangan.

Oleh karena itu, sejumlah pihak di Indonesia menyerukan dilakukannya peninjauan menyeluruh terhadap dampak pertambangan terhadap masyarakat pedesaan yang kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan keadaan.

“Kami harus meninjau kembali izin [penambangan nikel] di sekitar sawah,” kata Andi Rahman, direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Sulawesi Tenggara, sebuah LSM lingkungan hidup terbesar di Indonesia.

Menjelang akhir bulan April, langit terbuka kembali. Beberapa kilometer di selatan Pomalaa, sungai dan jalan dipenuhi lumpur dalam hitungan menit. Sungai-sungai mengalir ke laut, mewarnai pantai dekat dengan warna kemerahan yang sama.

Nelayan setempat, Guntur terkadang terjebak dalam lumpur saat melakukan pekerjaannya. “Pernah sampai ke leher saya,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia.

Nelayan di Hakatutobu biasa berpatroli di dekat pantai untuk menangkap ikan hari di perahu dayung untuk memberi makan keluarga mereka. Namun begitu tambang mulai beroperasi, Guntur mulai menggunakan motor tempel untuk melakukan perjalanan lebih dari 10 kilometer (6 mil) dari bibir pantai hanya untuk berburu teripang.

Pemerintah Kabupaten Kolaka membantah menerima keluhan masyarakat atas limbah pertambangan, baik di sawah milik petani maupun di lepas pantai Hakatutobu.

“Kalau ini lumrah dimana-mana, jangan sampai ada ranjau,” kata Abdul Arif, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kolaka.

Abdul menambahkan, masyarakat harus melaporkan keluhan apa pun ke kantornya.

“Nanti kita lihat apakah ini hanya kelalaian, apakah perusahaan terlalu malas mengeruk seluruh sedimen, atau sistem penambangannya amburadul,” kata Abdul mengutip dari Mongabay Indonesia.

Namun, beberapa aktivis masyarakat sipil mengatakan peringatan mereka mengenai dampak penambangan nikel terhadap lingkungan telah diabaikan. Walhi sebelumnya telah memantau dampak penambangan nikel terhadap sedimentasi di sekitar pantai Pomalaa.

“Pemerintah seolah-olah tidak mau tahu permasalahan yang dihadapi masyarakat,” kata Rahman dari Walhi.(rada08)



MinungNews.ID

Saluran Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *