NASIONAL

KBLI 2025 Bikin Logistik Lokal di Ujung Tanduk, ALFI Bali Bongkar Risiko Besar: JPT Terancam Tersingkir, Asing Diuntungkan

Denpasar, MININGNEWS – Polemik Peraturan Badan Pusat Statistik (BPS) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) kian memanas dan berubah menjadi kegelisahan nasional di sektor logistik. Di Bali, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) secara tegas menilai aturan tersebut bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan ancaman nyata bagi kelangsungan ribuan perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi (JPT) yang selama ini menopang arus distribusi barang, ekspor, dan impor nasional.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) ALFI Bali, Anak Agung Bagus Bayu Joni Saputra atau Gung Bayu Joni, menegaskan bahwa perubahan KBLI dalam Peraturan BPS No 7 Tahun 2025 telah menciptakan ketidakpastian serius di dunia usaha. Dalam aturan tersebut, KBLI JPT yang sebelumnya berkode 52291 dipindahkan menjadi 52311, sementara KBLI multimoda justru bergeser menjadi 52291. Perubahan ini disertai kewajiban penyesuaian izin usaha dalam waktu enam bulan, sekaligus mencabut keberlakuan KBLI 2020.

“Ini bukan sekadar ganti kode. Ini perubahan fundamental yang berdampak langsung pada biaya, legalitas, dan kelangsungan usaha. Mayoritas JPT adalah UMKM. Kalau dipaksa mengikuti skema baru tanpa transisi yang adil, banyak yang bisa tumbang,” ujar Gung Bayu Joni, Rabu (24/12/2025).

Ia menekankan, selama ini perusahaan JPT atau freight forwarder telah menjalankan fungsi logistik secara end to end, termasuk angkutan multimoda, dengan sistem satu kontrak dan satu dokumen. Praktik tersebut bukan hal baru, melainkan sudah berjalan puluhan tahun dan menjadi fondasi layanan logistik nasional. Namun, KBLI 2025 justru memisahkan peran tersebut secara kaku, seolah JPT tidak lagi relevan dalam kegiatan multimoda.

Menurutnya, dampak kebijakan ini tidak bisa dianggap ringan. Perusahaan JPT diwajibkan mengubah anggaran dasar melalui notaris, memperbarui data di Sistem Layanan Administrasi Hukum Umum (AHU), melakukan penyesuaian perizinan di Online Single Submission (OSS), hingga menata ulang dokumen perpajakan. Semua proses itu membutuhkan biaya besar, waktu panjang, dan berisiko mengganggu operasional usaha.

“Bagi perusahaan besar mungkin ini hanya soal prosedur. Tapi bagi JPT kecil dan menengah, ini bisa menjadi pukulan telak. Usaha bisa berhenti hanya karena tidak sanggup menanggung beban administrasi,” tegasnya.

Gung Bayu Joni juga mengungkapkan bahwa keresahan ini bersifat nasional. Di DKI Jakarta, tercatat sekitar 1.600 perusahaan JPT anggota ALFI terdampak langsung. Di Jawa Barat lebih dari 100 perusahaan resah, di Jawa Timur sekitar 490 perusahaan menghadapi risiko serupa, sementara di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, pelaku JPT yang didominasi UMKM juga menyuarakan penolakan. Secara nasional, jumlah perusahaan JPT diperkirakan mencapai lebih dari 4.000 badan usaha.

Ironisnya, kata dia, kebijakan strategis ini diterbitkan tanpa melibatkan pelaku usaha. ALFI sebagai asosiasi logistik nasional dan anggota Kadin Indonesia tidak pernah diajak berdiskusi oleh BPS sebelum KBLI 2025 ditetapkan. Akibatnya, regulasi yang lahir dinilai tidak mencerminkan realitas proses bisnis logistik di lapangan.

“Ini persoalan serius. Regulasi dibuat tanpa mendengar yang menjalankan usaha. Jangan heran kalau kebijakan ini justru kontraproduktif dan menimbulkan kegaduhan,” katanya.

Lebih jauh, ALFI Bali menyoroti potensi dominasi asing yang semakin terbuka akibat KBLI 2025. Kegiatan multimoda selama ini identik dengan badan usaha bermodal besar dan tidak sedikit yang berbendera asing. Dengan menempatkan multimoda pada posisi KBLI yang lebih strategis, sementara JPT lokal dipersempit ruang geraknya, maka persaingan menjadi tidak seimbang.

“Kalau dibiarkan, logistik nasional bisa dikuasai asing. JPT lokal yang sudah puluhan tahun membangun jaringan dan kepercayaan justru tersingkir oleh regulasi. Ini bukan hanya soal bisnis, tapi soal kedaulatan ekonomi,” ujar Gung Bayu Joni.

Ia menegaskan bahwa secara internasional, peran freight forwarder sebagai operator multimoda telah diakui. Dalam ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport, kegiatan multimoda ditegaskan sebagai registrasi, bukan lisensi yang membatasi. ALFI sendiri merupakan satu-satunya asosiasi logistik Indonesia yang berafiliasi dengan International Federation of Freight Forwarders Associations (FIATA), dan dokumen FIATA Bill of Lading diakui secara global oleh International Chamber of Commerce serta United Nations Conference on Trade and Development.

“Dunia internasional mengakui JPT sebagai pelaku multimoda. Tapi di negeri sendiri justru dipersempit. Ini ironi besar dalam tata kelola logistik nasional,” katanya.

ALFI Bali juga menilai KBLI 2025 tidak selaras dengan semangat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang menekankan kepastian hukum, efisiensi, dan transparansi. Hingga kini, sistem AHU dan OSS pun belum sepenuhnya siap mengakomodasi perubahan KBLI 2025, sehingga dunia usaha berada dalam posisi menggantung.

Atas kondisi tersebut, ALFI Bali mendesak Pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk segera mengevaluasi dan merevisi Peraturan BPS No 7 Tahun 2025. Pemerintah diminta tidak menutup mata terhadap dampak riil kebijakan ini terhadap UMKM logistik dan keberlanjutan usaha dalam negeri.

“Kalau pemerintah serius menjaga ekonomi nasional, maka kebijakan harus berpihak pada pelaku usaha lokal, bukan justru membuka jalan bagi dominasi asing. KBLI 2025 harus direvisi dengan melibatkan dunia usaha,” pungkas Gung Bayu Joni. 5412/006