NASIONAL

Sumpah Pemuda: Nyala Api Persatuan Menuju Indonesia Emas 2045

Miningnews, Jakarta – Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Di tengah penjajahan kolonial yang menekan, para pemuda dari berbagai daerah di Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua dan melahirkan sebuah ikrar yang menggugah semangat, yaitu Sumpah Pemuda. Ikrar ini tidak sekadar pernyataan politik, melainkan wujud kesadaran mendalam bahwa di atas segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan, terdapat satu identitas besar yang menyatukan: Indonesia.

Tiga butir ikrar suci – satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa – mencerminkan nilai luhur yang kemudian menjadi dasar ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Sumpah Pemuda menjadi benih lahirnya semangat persatuan dalam kebhinnekaan, yang kemudian terwujud dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Setelah 97 tahun berlalu, semangat Sumpah Pemuda tidak boleh hanya tinggal kenangan, tetapi harus terus menyala menjadi api perjuangan menuju Indonesia Emas 2045.

Filosofi Sumpah Pemuda dalam Bingkai Pancasila

Sumpah Pemuda dan Pancasila ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sumpah Pemuda melambangkan semangat persatuan, sedangkan Pancasila memberikan dasar nilai dan arah bagi persatuan itu.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, adalah pengejawantahan semangat Sumpah Pemuda. Para pendiri bangsa memahami bahwa tanpa persatuan, negara dengan ribuan pulau dan beragam budaya ini akan mudah terpecah. Karena itu, persatuan menjadi keharusan bagi keberadaan bangsa Indonesia.

Pancasila mengajarkan bahwa persatuan sejati bukanlah keseragaman, melainkan harmoni dalam perbedaan. Sila-sila lain, mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semuanya berakar pada semangat persatuan yang inklusif dan berkeadilan. Dalam pandangan filosofis Pancasila, Sumpah Pemuda menegaskan keberadaan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan bersama, yaitu kemerdekaan, keadilan, dan kemakmuran.

Isu Kekinian: Tantangan Pemuda di Era Disrupsi

Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, nilai-nilai Sumpah Pemuda diuji oleh berbagai tantangan baru. Generasi muda kini hidup di era di mana batas geografis semakin kabur, identitas kian cair, dan persoalan sosial, ekonomi, serta politik semakin kompleks.

Salah satu isu yang paling disorot generasi muda adalah korupsi. Contohnya, kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan kontraktor kerja sama pada 2018–2023 yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun per tahun. Kasus ini bahkan melibatkan pejabat tinggi dan dugaan suap kepada hakim. Peristiwa ini memunculkan kemarahan dan kekecewaan mendalam terhadap praktik korupsi yang merusak keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Generasi muda kini menuntut transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam penyelenggaraan negara, sesuai dengan semangat sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tantangan lain adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Kericuhan dalam Job Fair di Bekasi pada Mei 2025 menggambarkan betapa tingginya angka pencari kerja, sekaligus menunjukkan kesenjangan ekonomi dan pendidikan yang masih terjadi.

Di sisi lain, era digital membawa peluang sekaligus ancaman. Teknologi memungkinkan kolaborasi dan inovasi, namun juga memunculkan hoaks, polarisasi, dan perpecahan sosial. Karena itu, perlu ditumbuhkan nasionalisme digital agar pemuda mampu memanfaatkan teknologi untuk memperkuat identitas kebangsaan, menanamkan nilai Pancasila, dan menyebarkan narasi positif tentang Indonesia.

Tantangan lain yang tak kalah serius adalah krisis iklim. Banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan naiknya permukaan laut menjadi bukti nyata perubahan iklim yang mengancam kehidupan. Pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan ini melalui kreativitas dan inovasi ramah lingkungan. Dengan teknologi dan semangat adaptif, mereka dapat menjadi motor penggerak gaya hidup berkelanjutan.

Kearifan Lokal: Cerminan Nilai-Nilai Sumpah Pemuda

Indonesia kaya akan nilai-nilai kearifan lokal yang sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda. Salah satunya adalah tradisi Ngayah di Bali, yaitu bentuk gotong royong yang dilakukan secara sukarela dan ikhlas tanpa pamrih. Dalam kegiatan adat, keagamaan, maupun sosial, masyarakat Bali saling membantu membangun pura, membersihkan lingkungan, atau menyiapkan upacara.

Semangat Ngayah merupakan perwujudan nyata dari nilai Persatuan Indonesia dan gotong royong yang menjadi inti Pancasila. Di tengah kehidupan yang semakin individualistis, Ngayah mengingatkan pentingnya kebersamaan dan pengabdian bagi kepentingan bersama.

Tradisi serupa juga ditemukan di daerah lain seperti gotong royong di Jawa dan Mapalus di Sulawesi Utara. Mapalus adalah sistem tolong-menolong sukarela dalam pekerjaan bersama, seperti bertani atau membangun fasilitas umum. Semua tradisi ini menekankan solidaritas dan kebersamaan, selaras dengan semangat Sumpah Pemuda dan Pancasila.

Pesan Abadi Bung Karno: Warisi Apinya, Bukan Abunya

Bung Karno pernah berpesan, “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda.” Artinya, jangan hanya puas dengan simbol-simbol persatuan, tetapi terus kobarkan semangat perjuangan untuk tujuan yang lebih besar.

Sumpah Pemuda bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal langkah menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Api Sumpah Pemuda adalah semangat revolusioner yang harus terus menyala untuk menghadapi berbagai tantangan zaman, mulai dari korupsi hingga ketimpangan sosial.

Bung Karno juga berkata, “Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia.” Pesan ini menunjukkan betapa besar potensi pemuda dalam menciptakan perubahan. Dengan visi dan kerja keras, satu pemuda saja bisa menginspirasi bangsa.

Konklusi: Sumpah Pemuda dan Pancasila sebagai Penopang Indonesia Emas 2045

Cita-cita Indonesia Emas 2045 adalah menjadi bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada 100 tahun kemerdekaan. Untuk mencapainya, diperlukan dua pilar utama: Sumpah Pemuda dan Pancasila.

Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa persatuan adalah kekuatan. Tanpa persatuan, bangsa mudah terpecah dan lemah. Persatuan bukan hanya soal bahasa atau wilayah, tetapi kesadaran kolektif untuk bekerja sama dalam keberagaman.

Pancasila memberikan arah moral dan nilai bagi persatuan itu. Pembangunan sejati bukan hanya ekonomi, melainkan juga keadilan sosial dan kemanusiaan. Bung Karno melalui ajaran Marhaenisme menegaskan pentingnya perjuangan rakyat kecil sebagai inti nasionalisme. Marhaenisme menempatkan keadilan dan solidaritas sosial sebagai dasar perjuangan bangsa menuju kemakmuran bersama.

Nilai-nilai kearifan lokal seperti Ngayah, musyawarah, dan Mapalus menunjukkan bahwa kebijaksanaan tradisional bisa menjadi inspirasi pembangunan modern yang berkelanjutan. Nilai kebersamaan, gotong royong, dan tanggung jawab sosial sangat relevan menghadapi tantangan global seperti krisis iklim dan kesenjangan sosial.

Melalui generasi muda, semangat Sumpah Pemuda dapat terus hidup. Pemuda tidak hanya mewarisi simbol-simbol persatuan, tetapi juga api perjuangan dan inovasi untuk kemajuan bangsa. Bung Karno menegaskan bahwa persatuan bukan kondisi yang statis, tetapi proses dinamis menuju perubahan sosial dan kebudayaan yang lebih adil.

Persatuan harus mengandung makna keadilan dan emansipasi agar tidak menjadi slogan kosong. Gotong royong dan kesadaran kolektif adalah kekuatan yang akan membawa bangsa ini maju.

Mari jadikan 28 Oktober bukan sekadar peringatan, tetapi momentum untuk menyalakan kembali semangat Sumpah Pemuda. Dengan persatuan yang kuat, nilai Pancasila yang kokoh, dan semangat kerja keras generasi muda, cita-cita Indonesia Emas 2045 akan terwujud.

Dengan optimisme dan keyakinan, kita melangkah bersama menuju Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur – di bawah cahaya Sumpah Pemuda dan Pancasila sebagai mercusuar bangsa. ***

Merdeka! Indonesia Jaya!

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.
(Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dan Pengajar di Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa)